Monday, May 11, 2009

Hukum dan Hakim

Hukum bukanlah kata yang asing ditelinga kita. Kata itu serasa sedemikian dekat, meliputi setiap sendi kehidupan kita disadari maupun tidak. Setiap saat hidup kita selalu dikuasai oleh hukum. Hukum menguasai urusan manusia dari ia masih didalam rahim bahkan sampai Ia sudah meninggal. Hukum melindungi benih dikandungan ibu dan masih menjaga jenazah orang yang sudah mati. Semua yang berhubungan dengan manusia menuntut untuk dikendalikan lewat hak-haknya juga kewajibannya. Hukum mengandaikan setiap hubungan manusia dengan manusia lainnya dalam segala aspek, hubungan yang langsung dari asal usulnya, pertalian darah, perkawinan, tempat tinggal, kebangsaan, perdagangan, penyedia jasa yang beraneka ragam, pinjaman, asuransi, dll. Semua hubungan tersebut diatur oleh hukum. Ikatan hukum yang tak terhingga jumlahnya itu, mengelilingi manusia satu sama lain juga dengan dunia jasmani yang mengelilinginya yang kemudian menjadikan manusia sebagai manusia hukum (Homo Yuridicus), manusia yang dihubungkan oleh hukum (Apeldorn:1976;18).
Tidak ada peradaban dalam sejarah kehidupan manusia yang tidak mengenal hukum. Hukum sangat diperlukan untuk mengatur, mengelola dan mengontrol setiap hubungan manusia dengan manusia lain. Manusia sebagai makhluk sosial tak dapat dilepaskan dari hukum. Hukum yang secara sederhana dimengerti sebagai sebuah aturan sehari-hari dalam masyarakat adalah sebuah keniscayaan. Hukum berubah pengertian selaras dengan kesadaran masyarakat mengenai hukum itu sendiri. Perubahan pengertian akan hukum selaras dengan kebutuhan-kebutuhan baru atas relasi hukum diantara manusia satu sama lain atau dengan obyek hukum lainnya. Sejak zaman kuno masyarakat yang berkebudayaan tinggi telah mengenal hukum, yang biasanya berbentuk peraturan negara. Diantaranya yang bisa disebut adalah Mesir, Mesopotamia, India, Cina, dalam negara tersebut perundang-undangan telah tertulis. Yang paling terkenal dantara perundang-undangan kuno adalah tata hukum Hammurabi dari Babilonia (1800 SM) dan tata hukum nabi Musa sekitar abad 13 SM. Pada zaman kuno, hukum lebih dipandang sebagai kebijaksanaan para penguasa yang datang dari Ilahi. Tetapi sejak zaman romawi hukum dikerjakan secara lebih sistematis oleh ahli-ahli hukum, sehingga menjadi undang-undang negara (Huijbers:1995;21)
Pengertian tentang hukum memang ada pada semua orang, akan tetapi pada banyak orang pengertian ini masih sangat kurang. Masih ada orang yang menyamakan hukum dengan polisi, atau juga dengan larangan: apa saja yang tidak boleh adalah hukum.(Purbacaraka:1985;11-14). Memang susah memberikan defenisi secara pasti mengenai hukum, sejauh ini apa yang dikatakan oleh Kant bahwa para ahli hukum masih mencari defenisi mengenai hukum masih berlaku (Apeldoorn:1976:13). Tapi setidaknya definisi mengenai hukum melekat erat dengan keadilan, bahwa hukum merupakan interpretasi dari keadilan sebagai bagian dari cita-cita hidup (Huijber:1995;11).
Bila pengertian hukum tradisional diatas lebih-lebih bersifat ideal pada hukum sebagai suatu kebijaksanaan, kini hukum lebih pada hukum yang dibentuk oleh manusia sendiri dalam masyarakat yaitu hukum sebagai hukum positif. Pentingnya hukum dalam mengatur tatanan masyarakat berkembang bukan hanya sekedar kebijaksanaan para penguasa tetapi terutama disebabkan oleh kebutuhan akan keadilan oleh semua lapisan masyarakat. Cita negara hukum pertamakali dikemukakan oleh Plato untuk mewujudkan sebuah masyarakat yang adil tersebut, yang kemudian dipertegas lagi oleh muridnya Aristoteles. Dalam bukunya, Nomoi, Plato memberikan perhatian dan arti yang tinggi pada hukum. Menurutnya, pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang diatur oleh hukum. Selanjutnya, murid Plato, Aristoteles mempertegas tesis ini seraya berpendapat bahwa negara yang baik ialah negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum. Aristoteles menuliskan dalam Politics bahwa hukum harus dibagi dalam dua kelompok. Yang pertama ialah hukum alam atau kodrat, yang mencerminkan aturan alam. Hukum ini merupakan suatu hukum yang terus berlaku dan tidak berubah disebabkan kaitannya dengan alam. Yang kedua, hukum positif yang dibuat oleh manusia. Hukum positif inilah yang kemudian berkembang sedemikian rupa mengikuti perkembangan umat manusia. Hukum yang tadinya berupa ide sebuah kebijaksanaan untuk keadilan, kini berkembang menjadi hukum yang konkret dalam sebuah tata aturan bermasyarakat yang membutuhkan lembaga tersendiri dalam mengaturnya. Hukum begitu pentingnya, sehingga muncul masyarakat atau negara yang mengandalkan hukum dalam tata kelola sebuah negara yang sering disebut sebagai negara hukum.
Negara hukum mengandalkan penegakan hukum dalam sebuah negara. Dalam Negara hukum, hukum disusun lebih matang dan terperinci menjadi sebuah aturan-aturan yang mengatur tatanan kehidupan bersama. Kesadaran mengenai hukum yang berbeda disetiap tempat dan disetiap waktu juga akhirnya memberikan defenisi yang berbeda mengenai hukum disetiap tempat dan lintas zaman. Akhirnya kini, bermunculan sistem-sistem hukum yang secara garis besar dapat kita kenal seperti sistem hukum civil law dari hukum Eropa kontinental dan sistem hukum common law dari hukum Anglo saxon. Dan di negara kita Indonesia walaupun menganut sistem hukum sendiri sebagaimana hukum yang berlandaskan pancasila, juga lebih dipengaruhi oleh sistem hukum civil law dari hukum Eropa kontinental yang diwariskan oleh kolonial belanda dimasa penjajahan. Disamping juga seperti yang diperkenalkan Snock Horgronge, bahwa Indonesia sebelum klonial Belanda sudah mengenal hukum yang telah dikembangkan sendiri dari hukum Islam dan hukum adat yang juga disebut Adatrecht.
Pada zaman modern ini, hukum menjadi suatu tempat sandaran oleh individu-individu dalam masyarakat untuk mencari keadilan bahkan untuk menyelesaikan setiap perselisihan yang terjadi di masyarakat. Kesadaran hukum di jaman modern ini menuntut adanya keterpisahan urusan hukum sendiri disamping urusan penyelenggaraan negara. Selaras dengan pentingnya pemisahan kekuasaan yang disampaikan oleh Montesque dalam Trias Politica. Sehingga, untuk menjalankan hukum tersebut dirasa perlu untuk membentuk sebuah lembaga yang khusus dalam menangani hal tersebut, yang berkembang kini yang kita sebut dengan lembaga peradilan atau mahkamah. Dalam kenyataannya hukum tidaklah dapat berlaku di masyarakat begitu saja. Harus ada pihak yang diberi hak untuk menyuarakan hukum. Persis mirip dengan pendapat yang diajukan kaum Syiah terdahulu kepada Ali bin Abi Thalib, “Qur’an itu bisu. Dia tidak dapat berbicara. Maka harus ada yang membawanya ketengah-tengah masyarakat”. Selaras dengan pernyataan tersebut, demikian juga tentang hukum sebagai hukum positif, harus ada yang membawanya ketengah-tengah masyarakat. Dalam hal ini kita lihat bahwa hakim merupakan orang yang diberi hak untuk menyuarakan hukum dalam masyarakat.
Hakim merupakan sentra hukum dari lembaga peradilan, dialah yang memutus perkara dan memberikan punishment. Hakim merupakan jelmaan dari hukum itu sendiri dalam masyarakat. Oleh sebab itu, hakim menjadi penting karena ia paling tidak bisa dikatakan tempat orang-orang mencari keadilan dalam setiap masalah yang terjadi dalam hubungan setiap individu dalam masyarakat, dan putusannya merupakan solusi atas setiap perselisihan yang terjadi dalam masyarakat.
Kesadaran masyarakat akan pentingnya fungsi hakim sebagai sentra hukum diatas membuatnya sejajar dengan tuntutan masyarakat atas integritas hakim, dimana hakim seharusnya memiliki kebebasan dalam memutus setiap perkara yang terjadi di dalam masyarakat itu sendiri. Kebebasan hakim dipandang penting lebih karena fungsinya menyangkut tata hubungan masyarakat baik karena hakim sendiri adalah bagian dari masyarakat juga karena masalah mengenai tuntutan akan keadilan tidak saja terjadi antara individu yang satu dengan individu lainnya. Akan tetapi tuntutan keadilan malah lebih banyak justeru antara individu dan negara sebagai pengatur sekaligus penguasa dalam masyarakat. Hakim sebagai individu dituntut untuk menjadi seorang yang memiliki mentalitas yang kuat dan kebajikan tertinggi diantara masyarakat yang lain. Disamping itu, sejalan dengan tuntutan keadilan terhadap hakim, hakim dituntut untuk lepas dari setiap hegemoni pemerintah sebagai penyelenggara negara dan campur tangan pihak lain.
Berkaitan dengan tuntutan mengenai keadilan, hakim juga dituntut untuk mampu memahami dengan apa yang dimaksud dengan adil. Masalahnya, defenisi mengenai keadilan selaras dengan kesadaran pada apa yang disebut adil di satu waktu, karena adil pada waktu kini bisa jadi berbeda dengan apa yang dimaksud adil pada lain waktu. Keadilan bersifat berubah-ubah selaras dengan kesadaran akan keadilan yang dicita-citakan. Keadilan adalah sebuah nilai yang ideal, karenanya Ia seringkali bertabrakan dengan hukum tertulis yang diandalkan lembaga peradilan. Seperti contoh yang terjadi di Indonesia, keadilan selalu didasarkan pada hukum tertulis. Demikian kata Syafruddin A Tumenggung, mantan bos BPPN "KEADILAN itu didasarkan pada ketentuan perundang-undangan" (Kompas, 2/3/2004)., hal ini disampaikannya dalam menanggapi pertanyaan sehubungan dengan kurang "pas"-nya pesangon mantan karyawan BPPN dengan rasa keadilan masyarakat, khususnya di tengah kemiskinan rakyat yang akut.
Menanggapi hal demikian kiranya hakim dituntut untuk dapat tidak hanya lepas dari campur tangan pihak lain, akan tetapi juga dari hukum-hukum tertulis yang bertabrakan dengan nilai kemanusiaan dan keadilan. Oleh sebab itu, hakim seharusnya lebih dibebaskan dalam menerapkan hukum dan memproses perkara di pengadilan dalam hal dasar-dasar hukumnya. Kemudian hakim sebisa mungkin melepaskan diri dari kungkungan aturan hukum apabila memang menurut nalar keadilan hakim, peraturan perundangan itu sudah tidak relevan dengan nilai kemanusiaan. Oleh sebab itu, kebebasan hakim juga berarti hakim harus berani menafsirkan hukum dengan cara progressif dalam artian berani menafsirkan diluar dogma kepastian hukum prosedural bila akhirnya menemukan peraturan yang berlawan dengan dasar kemanusiaan dan keadilan. Karena hukum pada dasarnya adalah produk lembaga legislatif (politis) dan kolonialis yang bisa jadi banyak muatan yang bersifat particularistik berdasarkan pada kepentingan dan budaya hukumnya sendiri.
Poin penting yang bisa kita tarik dari asumsi diatas, adalah bahwa hakim sebagai sentra hukum penentu keadilan hendaknya memiliki kebebasan terutama dalam memutus perkara, dalam sistem penegakan hukum yang kiranya dapat lepas dari hegemoni dan campur tangan pihak lain misalnya pemerintah sebagai penyelenggara negara dan dalam menafsirkan ulang hukum tertulis yang mungkin bertabrakan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sebagaimana cita-cita hukum itu sendiri, sebagai sesuatu yang hendak diwujudkan oleh hakim.

Saturday, March 14, 2009

Lawakan Siantar - kultur lisan

dikisahkan oleh seorang dongan Simson Saragih

Cerita 2 lucu, humor, guyon atau apalah namanya itu yg bisa bikin org ketawa sering kali kita dengar dan diceritakan kembali waktu kongkow 2 dulu (medio 70 - 80 an) sama kawan 2 di siantar, entah pas nongkrong di simpang, di lapo maupun di kode 2 kopi. Sumber cerita ada yg memang karangan sendiri, dari media massa, pakter tuak (si jurtul cs ) maupun dari pelawak 2 yg ngetop waktu itu. Ada satu cerita yg dulu sering awak dengar dan ceritakan kembali tentang seorang arab minta rokok dgn orang siantar...

Orang Arab : " minroseba... (minta rokokmu sebatang )"
Orang Siantar : " tingsaba ...(tingggal sabatang) "
Orang Arab : " sabapuja...(sabatang itupun jadi ) "
Orang Siantar : " tarosaba..!!!(tak ada rokok sabatang !I!) "
Orang Arab : " yangparlakabah !!! ...( yang parah lah kau bah !!!) "
Orang Siantar : !!!!???!!!!