Thursday, December 11, 2008

masalah ruu app

BEBERAPA PANDANGAN SOSIAL SEPUTAR KONTROVERSI RUU APPBaru-baru ini kita dihebohkan oleh RUU Pornografi dan Pornoaksi yang akan disahkan menjadi UU oleh MPR. Hal ini menuai polemik di masyarakat, ada yang pro maupun yang kontra dalam memandangnya.

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Amidhan, mengatakan: “Undang-undang Pornografi dan pornoaksi memang sangat dibutuhkan, namun jangan sampai menghambat privasi sesorang serta kebebasan berpendapat dan berekspresi. Harus diatur sedemikian rupa agar tidak melanggar hak-hak berkreasi, dan benar-benar hanya memberi sangsi kepada mereka yang melakukan pornografi dan pornoaksi.” Selanjutnya ia mengatakan: “Bangsa kita ini suka latah dan meniru. Lihat saja tayangan-tayangan televisi yang mengarah pada pornoaksi. Karena rating-nya tinggi, stasiun televisi lain juga menyairkan hal serupa.” Menurut Amidan, pembinaan moral saja tidak cukup untuk menekan pornografi dan pornoaksi. “Juga tidak cukup dengan pengajian-pengajian dan ceramah-ceramah agama karena masih banyak pihak yang menyalahkan kebebasan.” (Kompas, 21 januari 2006).

Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Azyumardi Azra, bertutur: “Tanpa pengaturan yang tegas praktik pornografi susah dibendung. Lihat, Produk-produk berbau porno dapat diperoleh di pinggir-pinggir jalan.” Azumardi mengemukakan, perumusan mengenai batasan-batasan pornografi hendaknya melibatkan institusi akademis dan lembaga-lembaga independen. Ia juga menambahkan bahwa lembaga pendidikan yang diharapkan untuk menanamkan nilai-nilai moral dan etika ternyata juga tidak cukup efektif. “Lembaga pendidikan bisa memberi kesadaran pada anak didik. Akan tetapi, pada lingkungan diluar pendidikan telah terjadi praktik-praktik pornografi dan pornoaksi yang parah.” (Kompas, 21 januari 2006).

Dalam analisa saya, mereka berasumsi bahwa keruntuhan moral masarakat yang terjadi selama ini (baca; laporan kriminal televisi) lebih disebabkan oleh merebaknya pornografi dan pornoaksi yang tanpa batas dimasarakat. Kedua tokoh sama-sama menekankan aspek penegakan hukum. Moral masyarakat bisa terjaga dan terlindungi bila hukum ditegakkan secara tegas (Law Inforcement). “Penyelamatan” moral bangsa bisa berjalan baik tidak cukup hanya dengan pendekatan-pendekatan budaya-sosial, seperti pendidikan, ceramah-ceramah agama, dan kontrol sosial saja, melainkan juga harus melibatkan hukum sebagai perangkat negara untuk mengatur masyarakatnya. Implisit dalam pandangan ini, masyarakat bisa teratur secara moral jika aspek-aspek formal dalam hukum ditegakkan. Titik tekan kedua tokoh ini adalah penegakan hukum. Inilah yang disebut dalam diskursus filsafat hukum sebagai paham Legalisme. Asumsi paham ini adalah rakyat atau masyarakat bisa teratur secara moral jika diatur oleh hukum positif. Masyarakat seharusnya diatur dengan hukum dan bukan (semata-mata) dengan kesadaran moralitas. Legalisme dalam hukum ini menekankan aspek ketaatan-ketaatan formal yang bersifat lahiriah dan superfisial. Kesadaran yang ingin ditanamkan kepada warga negara hanya bersifat permukaan dengan paramater reward dan punishment.[1]

Hal ini mungkin disebabkan oleh anggapan bahwa logika sosial masyarakat tidak lagi steril dan independen. Logika sistem ekonomi dewasa ini (baca: Neoliberalisme) telah memasuki ranah-ranah lagika sosial masyarakat. Sehingga masyarakat tidak lagi jernih dalam menanggapi dan menyikapi perubahan-perubahan sosial yang sedang terjadi. Inilah yang disebut oleh Habermas sebagai Kolonialisasi sistem atas dunia kehidupan.[2]

Sistem didefinikan oleh Habermas sebagai mekanisme untuk mengatur tindakan individu-individu, memberi makna fungsional terhadap tindakan dan memastikan bahwa sistem tetap bekerja seperti dimaksud. Sistem mewakili proses rasionalisasi modernitas yang berupa birokratisasi dan intrumentalisasi. Sehingga corak rasionalisasi sistem bersifat intrumental-kalkulatif dan rasional-bertujuan. Sedangkan dunia kehidupan (lebenswelt) merupakan arena berlangsungnya peristiwa sehari-hari dan tindakan komunikatif menduduki tempat yang sentral. Logika dalam dunia kehidupan diatur oleh rasio normatif-komunikatif. Kolonialisasi yang dimaksud adalah masuknya rasionalitas ekonomi pasar/uang (baca: logika rasional bertujuan) dan logika rasionalitas intrumentalis-adminiastratif ke dalam dunia kehidupan sehingga rasionalitas komunikatif diganti oleh rasionalitas-bertujuan. Akibatnya masyarakat semakin mengarahkan tindakannnya pada pertimbangan ekonomis dan penyesuaian pragmatis terhadap peraturan birokrasi negara.[3] Inilah yang dimaksud logika masyarakat tidak lagi bisa jernih. Logika masyarakat telah dikeruhkan oleh logika rasionalitas kalkulatif-rasional ekonomi dan pragmatis-intrumetalis negara.

Tesis inilah yang membuat kedua tokoh diatas tidak rela membiarkan masyarakat berjalan sendiri. Perlu adanya intervensi negara untuk mengarahkan masyarakat kearah yang lebih baik. Dari sini bisa kita anggap bahwa kedua tokoh diatas adalah representasi dari masyarakat yang pro atas RUU Pornografi dan Pornoaksi ditetapkan menjadi UU bagi negara.

Disamping itu juga ada yang kontra atas RUU ini ditetapkan menjadi UU oleh negara. Pernyataan sikap bersama Beberapa LSM: Arus Pelangi, Institut Ungu, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Kelompok Kerja Perempuan Mahardhika, Sekar, Srikandi Demokrasi Indonesia, Seknas Koalisi Perempuan Indonesia, Yayasan Jurnal Perempuan dan Individu-individu yang peduli, disampaikan di LBH Jakarta Yang berisi: RUU ini mencampuri pilihan bebas seseorang, dalam hal ini perempuan untuk mengekspresikan diri. Ketentuan pornoaksi misalnya, dinilai memberi legitimasi bagi aparat untuk menangkap berdasarkan intrepretasi mereka. Hal ini dikhawatirkan memicu polisi-polisi moral yang kan mengawasi dan mengintervensi kehidupan privat sesorang mulai aktivitas ciuman bibir, cara berbusana, cara menari hingga bagaimana seseorang bergerak. Dikhawatirkan terjadinya pemerasan baru baik oleh aparat maupun kelompok-kelompok tertentu yang merasa jadi polisi moral. Salah satu faktor mengapa perempuan menjadi obyek pornografi atau menjadikan dirinya sebagai obyek pornografi disebabkan adanya situasi pemiskinan struktural, krisis ekonomi, tidak tersedianya lapangan pekerjaan, pemutusan hubungan kerja, dan juga tekanan sosial budaya terkait dengan masih berakarnya budaya patriarki yang dalam masyarakat. (Kompas, Senin, 6 Februari 2006)

Dalam analisa saya beberapa lsm disini ingin mempertanyakan sejauh mana negara sebagai institusi punya legitimasi formal-etis-filosofis terhadap kebebasan warganya. Menurut mereka, negara telah terlampau jauh menintervensi kebebasan warganya. Asumsi ini mengandaikan negara hanya berperan minimal dalam penyelenggaran aktivitas hidup warga negaranya. Negara diandaikan sebagai institusi yang mengurusi hal-hal yang mendasar dalam masyarakat yang bersifat publik, misalnya menciptakan keamanan, menyuguhkan kesejahteraan, menyediakan fasilitas kesehatan, mengangkat kemiskinan, dan merawat kebebasan. Inilah yang disebut John Rawl sebagai “distribusi barang-barang sosial utama”. Negara berfungsi meredistribusikan barang-barang sosial utama (Social Prmary Goods) kepada masyarakat. Bukan mengurusi hal-hal privat yang justru melanggar prinsip kebebasan warganya. Inilah yang dalam kategori tertentu bisa dimasukkan dalam paham liberal. Individu merupakan subyek tertinggi yang harus dijunjung tinggi dalam masyarakat. Nilai-nilai kolektif-komunal tak boleh mengalahkan kebebasan individu.[4]

Beberapa LSM tersebut selanjutnya mengaitkan pornografi dengan kemiskinan struktural. Menurut mereka, negara belum menciptakan kesejahteraan dalam masyarakat yang justru merupakan tugas utamanya, dan bahkan ikut menciptakan kondisi kemiskinan itu (baca: kemiskianan struktural). Di saat belum menjalankan fungsi utamanya, negara malah mengurusi, mencampuri, dan melanggar prinsip-prinsip kebebasan mendasar warganya. Kalau dilihat secara sosiologis, justru tindakan-tindakan yang dicap oleh negara sebagai pornografi dan pornoaksi itu adalah kegiatan terpaksa yang diakibatkan oleh pemiskinan struktutal oleh negara.

Legalisme dalam hukum sebenarnya telah menjadi paradigma mainstream negara-bangsa di zaman modern ini. Logika hukum positif telah memisahkan lama dari aspek moralitas. Antara yang legal dan yang moral adalah sesuatu yang terpisah. Dasar peraturan hukum positif adalah observatorial-empiris.[5] Sehingga dalam hukum positif suatu negara, nilai-nilai yang terejawantah dalam produk hukumnya bersifat sekuler dan tidak mewakili nilai-nilai agama maupun moral tradisi tertentu. Namun hal ini tidak setegas dalam kenyataannya. Dalam produk hukum, khususnya di negara Indonesia, misalnya banyak nilai-nilai agama maupun nilai-nilai tradisi lokal tertentu masuk dalam produk hukum kita. Akhirnya hukumpun harus mendapatkan legitimasi dari nilai-nilai moral yang berlaku dalam masyarakat.

Dalam kasus Pornografi dan Pornoaksi, yang notebennya lebih banyak menyangkut isu moralitas, setidaknya harus dicari pemecahan dan pendekatan yang tidak semata-mata bercorak legal-positivistik. Mungkin saya sepakat bahwa Pornografi sebagai sebuah produk berupa koran, majalah, film, TV, ataupun lainnya, perlu diatur, walaupun tentu dengan kearifan dan kejernihan dalam mengaturnya. Namun pornoaksi sebagai sebuah aktivitas personal di ruang publik tentu beragam coraknya dalam berbagai kebudayaan di Nusantara. Sehingga pendekatan hukum yang bercorak legal-positivistik akan menyeragamkan dan sekaligus memberangus keragaman tingkah laku yang terjadi dalam masyarakat dalam payung besar hukum negara. Saya kira pendekatan budaya lebih arif untuk dijalankan. Dengan pendekatan ini masyarakat justru akan lebih merdeka, bebas, dan dewasa dalam menanggapi permasalahan ini.

Disini kita bisa melihat bahwa paham legalisme dalam hukum tidak akan menyelesaikan permasalahan yang ada. Pendekatan formal-legal-positif dalam menangani masalah yang terjadi dalam masyarakat, khusunya persoalan moralitas, tidak akan pernah maksimal. Ia hanya akan menyelesaikan permasalahan itu pada permukaan saja. Tidak pada substansi permasalannya. Atau justru pendekatan formal ini akan menimbulkan permasalahan baru di masyarakat. Urgensi atas RUU ini rendah, dan bisa jadi malah melanggar kodrat manusia itu sendiri. Dalam RUU ini secara pasal perpasal kita lihat justru merupakan bagian inhern dari kodrat manusia itu sendiri. Sehingga dalam hal ini ada yang menolak legalisme hukum sebagai penyelesaian masalah. Masyarakat bisa tertatur secara moral, jika didekati secara budaya, sosial, dan pendidikan. Yang disana terdapat implisit moralitas yang mengatur bukan hukum yang memaksa.

Kita juga bisa menekankan pemahaman sejak dini, lewat pendidikan seks, dalam masyarakat sehingga masyarakat dapat mengatur dari dalam dirinya sendiri persoalan menyangkut moralitas tadi. Artinya, sebenarnya masyarakat, atau individu dalam masyarakat, bisa memilih mana yang baik dan benar dalam aktivitas moralnya. Hal ini mengandaikan otonomi individu sebagai subyek moral. Dalam diskursus etika asumsi ini menganut aliran indeterminisme.[6] Yakni, justru ketika pelaku bebas, otonom dan merdeka, tindakannya bisa diberi justifikasi moral. Tindakan bisa dikatakan benar/salah justru karena aspek kebebasan dan otonomi yang dipunyai oleh subyek moral. Hal ini juga terkait tiga postulat moral yang diperkenalkan oleh Imanuell Kant, Yakni, Kebebasan, Immortalitas jiwa, dan Tuhan.

Dalam diskursus etika, kebebasan adalah tema sentral. Ia biasanya disandingkan dengan term tanggung jawab. Keduanya saling mengandaikan. Tidak ada kebebasan “sejati” tanpa tanggung jawab, begitu sebaliknya. Artinya hubungan kebebasan dengan tanggung jawab bersifat tautologis.[7] Pandangan ini secara kasar dapat diartikan bahwa setiap perbuatan agar bisa dipertanggungjawabkan secara moral sebagai baik atau buruk harus mengandaikan kebebasan yang inhern terdapat dalam diri manusia (baca: subyek moral). Otonomi merupakan syarat mutlak dari justifikasi etis. Maka tindakan orang gila, hewan, tumbuhan, dan orang yang tidak sadar, tidak termasuk dalam subyek etika.

Aspek kebebasan inilah yang merupakan salah satu postulat yang ditawarkan oleh Imanuell Kant dimana pengertian moralitas menjadi bermakna. Imanuell Kant menyebutkan tiga postulat dimana ia merupakan syarat penilaian moral diandaikan padanya. Tiga postulat itu: Kebebasan kehendak, Immortality, dan Eksistensi Tuhan.[8] Tiga hal inilah yang membuat etika, penilaian etis (baca: rasio praktis), menjadi bermakna dan mendapat pengabsahannya.

DAFTAR PUSTAKA

(Kompas, 21 januari 2006), Jangan Kekang Ekspresi, RUU Anti Pornografi dan

Pornoaksi Harus Dirumuskan secara Jelas.

(Kompas, 6 Februari 2006), RUU Anti Porno Diskriminatif, Negara Perlu

pertimbangkan Pemiskinan Struktural

Bakker, Anton, Metode-Metode Filsafat, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986

Bertens, Kees, Etika, Gramedia, Jakarta, 2002

Habermas, Jurgen, The Thoery Of Communicative Action, Jilid II, Beacon Press, Boston, 1984

Kimlica, Will, Pengantar Filsafat Politik Kontemporer, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000

Ritzer, George, Classical Sosiological Theory, ( Printed Singapore: Macgrowhill Companies Inc.), 1996.

Tjahyadi, Sindung, Hand-Out Filsafat Hukum, materi kuliah Filsafat Hukum pada Fakultas Filsafat UGM, tidak diterbitkan, Yogyakrta, 2003

Yu Lan, Fung, Sejarah Filsafat Cina, Sejak Konfusius Sampai Fei Tzu, Terj. Soejono Soemargono (Yogyakarta: Liberty), 1996



[1] Lihat Fung Yu Lan, Sejarah Filsafat Cina, Sejak Konfusius Sampai Fei Tzu, Terj. Soejono Soemargono (Yogyakarta: Liberty), hal. 218. Lihat Juga George Ritzer, Classical Sosiological Theory, ( Printed Singapore: Macgrowhill Companies Inc.), 1996. Hal. 257-258.

[2] Lihat Habermas, The Thoery Of Communicative Action, Jilid II, Boston, Beacon Press, Hal. 142.

[3] Ibid. 153-161.

[4] Lihat Will Kimlica, Pengantar Filsafat Politik Kontemporer, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000, hal. 86.

[5] Lihat Sindung Tjahyadi, Hand-Out Filsafat Hukum, materi kuliah Filsafat Hukum pada Fakultas Filsafat UGM, tidak diterbitkan, Yogyakrta, 2003, hal. 8.

[6] Kees Bertens, hal. 120. Lihat juga Charris Zubair, Kuliah Etika, Rajawali Press, Jakarta, 1990. hal 44.

[7] Op. Cit, hal. 91. Tautologis bermakna bahwa pengertian satu sudah terkandung dalam pengertian lainnya.

[8] Lihat, Anton Bakker, Metode-Metode Filsafat, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986, hal 94.